Satu
pertanyaan yang mengusik saya selama ini adalah : benarkah bahwa saat memposting sesuatu di media sosial, alam bawah sadar sudah
otomatis mengatur agar postingan ini sesuai dengan persepsi orang terhadap
kita? Bahkan saat mengambil pose saat berfoto misalnya, pasti mencari angle
terbaik. Coba tanyakan pada hati nurani, berapa persen untuk memenuhi kepuasan
pribadi dan berapa persen untuk pencitraan?
Dunia sosial media memiliki banyak manfaat positif jika cerdas memanfaatkannya. Apalagi saat semua aktivitas terbatasi karena pandemi seperti saat ini. Kita “dipaksa” melek teknologi untuk bisa mengikuti perkembangan zaman. Pembelajaran di sekolah via daring, pekerjaan via daring, macam-macam pertemuan dan kursus pun via daring. Banyak info penting dan beragam pengetahuan yang bisa diambil dari media sosial.
Mengutip
pernyataan Nadiem Makarim dalam podcast Dedy Corbuzier beberapa waktu silam :
sosial media itu sebaik-baik pengguna dan seburuk-buruk pengguna. Media
sosial memang bagaikan dua sisi pisau. Ada sisi baiknya namun ada juga
sisi buruknya. Yang harus kita akui
bersama adalah, media sosial mengandung konsekuensi terhadap kesehatan mental.
Proses
memframing diri agar pas dengan
sebagaimana kita ingin orang melihat diri kita itulah yang menurut saya salah
satu sisi buruk media sosial pada kesehatan mental kita. Perasaan insecure yang timbul karena semua
aktivitas lalu bergantung pada penilaian publik, adalah salah satu efek
negative tersebut. Saat Nadiem Makarim
berpuasa media sosial selama hampir 2.5 tahun, yang dirasakan beliau adalah
perasaan secure. Lebih tenang, lebih
damai dan lebih fokus pada pekerjaannya.
Intensitas komunikasi dengan keluarga pun lebih meningkat. Pertemanan yang
terjalin dirasakan lebih mendalam karena lebih sering melakukan pertemuan
langsung. Memang kelemahan media sosial terutama melalui tulisan adalah kita
tidak tahu ekpresi yang sebenarnya dari lawan chatting. Selain itu bisa terjadi kesalahpahaman karena cara pengungkapan
kalimat secara lisan dan tulisan terkadang berbeda. Komentar publik di media
sosial kadang membebani langkah kita. Bahkan lebih jauh lagi, mempengaruhi
keputusan-keputusan yang kita buat.
Lalu
bagaimana cara merasa secure
bersosial media tanpa harus berpuasa? Ada beberapa hal yang saya sarikan dari
berbagai sumber, di antaranya adalah :
·
Beri
Batasan Waktu
Benda apa yang pertama
kali dicari ketika bangun tidur? HP? Berapa lama waktu yang terbuang sia-sia
saat bangun tidur lalu membuka HP? Seharusnya waktu yang berharga ini bisa
dimanfaatkan untuk segera buang air kecil dan beribadah pagi tapi karena ada
gossip menarik maka beberapa menit terbuang percuma. Kita punya kendali waktu
asalkan disiplin dan berniat sungguh-sungguh ingin menertibkan diri. Dalam
keluarga misalnya, tetapkan waktu-waktu no
gadget. Misalnya saat makan atau saat berkumpul keluarga. Atur berapa lama
penggunaan gadget untuk masing-masing anggota keluarga karena kebutuhan
masing-masing pribadi berbeda. Bahkan anak kecil pun bisa diberi pengertian
akan waktu-waktu khusus ini.
·
Baca
dulu, Baru Komentar. Saring sebelum Sharing
Budayakan membaca
keseluruhan konten sebelum berkomentar. Jika dibaca hanya sepotong, bahkan
judulnya saja, bisa menimbulkan salah paham. Apalagi jika langsung asal repost,
buru-buru sharing agar menjadi yang pertama. Padahal berita ini ternyata hoax.
Kita ikut menanggung dosa karena menyiarkan berita bohong.
Di dunia maya, demi
menarik pengunjung, pembuat konten sengaja membuat judul yang fantastis, click bait, bahkan ada yang berlebihan,
tidak sesuai dengan isi konten keseluruhan. Oleh karenanya, budayakan membaca
hingga tuntas. Sebaliknya untuk diri sendiri, sebelum memposting sesuatu pun,
saring lah terlebih dulu. Kedepankan pikiran dan timbanglah baik buruknya.
·
Elegan
dan Jaga Kesopanan
Tidak bertatap muka
secara langsung, bukan berarti kita bisa bebas “mengata-ngatai” seseorang di
dunia maya. Sering kita lihat beberapa komentar di postingan selebritis yang
bahasanya teramat kasar. Apalagi jika terjadi “perang” antar fans. Isi “kebun binatang” bisa tertuang
dalam tulisan. Bahkan mereka menggunakan akun palsu agar lebih bebas
menyebarkan ujaran kebencian. Berbeda pemikiran itu boleh, beda idola itu
sah-sah saja, namun alangkah lebih baik
jika tetap dalam batas kesopanan dan elegan saat adu pendapat.
·
Tetap
Eksis di Dunia Nyata
Keasyikan berselancar dan
berkomunikasi di dunia maya sebaiknya tetap diimbangi dengan pertemanan nyata
di masyarakat. Perhatikan lingkungan sekitar kita. Suatu ironi ketika sebuah ponsel
bisa mendekatkan yang jauh namun menjauhkan yang dekat. Kita sering melihat
dalam acara, sekelompok orang berkumpul, duduk bersama, tapi mereka sibuk
dengan HP masing-masing. Lalu, apa gunanya berkumpul?
Yuk,
sama-sama berusaha pintar memanfaatkan media sosial. Ambillah yang baik-baik
saja dan tinggalkan yang buruk. Lindungi diri kita dan keluarga dengan budaya
sehat bermedia sosial.
(Gambar dari Pixabay)
Tulisan ini Diikutsertakan dalam 30 Days Writing Challenge Sahabat Hosting
Be First to Post Comment !
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung